Lawu 3265 mdpl, Pengalaman pertama yang membuat saya kuat
Dulu, waktu punya pacar haha. Padahal mah, buat anak kelas J haha |
Bapak pernah berkata, “Jadi anak perempuan itu gak
usah macem – macem. Inget, kamu itu bagaikan dagangan ibu bapak. Anak perempuan bukan seperti laki-laki yang membeli.”.
Kalimat itu yang sampai detik keberangkatan saya ke Lawu
yang saya inget. Dilarang, tapi karena penasaran saya tetap memaksa untuk ikut
mendaki bersama 5 teman SMA saya. Mungkin memang orang tua saya sayang kepada
saya, sehingga melarang saya untuk naik gunung terlebih mengingat kejadian semasa
saya SD terjatuh sewaktu maen basket dan kedua tempurung lutut saya geser. Dari
kejadian itu saya amat sangat dibatasi, gak boleh maen basket lagi, gak boleh
lari – lari jauh, apalagi naik gunung, sudah pasti dilarang. Karena saya sudah
merasa terlalu lama diam dan hanya menerima nasib, akhirnya waktu itu saya
memohon kepada orang tua saya untuk sekali ini mengizinkan keinginan saya. Dan
dengan berat hati, mereka mengizinkan saya dengan jaminan setelah dari sana
saya gak boleh ngeluh capek atau bercerita tentang kesusahan saya disana. Oke, saya
terima persyaratan dari orang tua saya tersebut.
3 Agustus 2014 adalah waktu yang kami pilih untuk berangkat.
Anggota dari pendakian ini adalah Antina, Gita, Bagas, Grendika, Tommy, dan
saya. Awalnya tidak ada keraguan sama sekali dari kami untuk mendaki malam itu,
tetapi mengetahui kenyataan bahwa salah satu teman saya Antina sedang
berhalangan membuat kami berpikir ulang untuk mendaki. Gunung Lawu yang menjadi
target kami untuk mendaki adalah salah satu gunung yang terkenal sedikit
mistis. Banyak sekali pantangan untuk mendaki gunung tersebut salah satunya
adalah kebersihan diri. Menurut orang-orang disana, wanita yang sedang
berhalangan adalah wanita yang sedang tidak bersih atau tidak suci sehingga
masyarakat sekitar menyarankan untuk tidak melakukan pendakian. Tidak hanya itu
saja sih, warna baju juga menjadi pantangan disana. Konon, pendaki yang memakai
baju berwarna hijau tidak akan selamat dalam pendakian dan banyak
pantangan-pantangan lainnya yang saya lupa, hehe
Tepat pukul 19.30 WIB kami sampai di depan pintu masuk
pendakian. Kami bimbang, kami belum memutuskan untuk mendaki ataupun pulang.
Dengan kebimbangan tersebut kamipun memutuskan untuk berhenti di suatu warung
dan membicarakan masalah tersebut. Sembari menikmati mie rebut dengan telor
panas malam itu menjadi malam perundingan paling ruweeet. Susah sekali
memutuskan untuk berangkat atau tidak. Berangkat kami benar-benar menantang
maut, tidak berangkat kami sudah sampai setengah jalan. Dan dengan segala macam
bentuk pertimbangan akhirnya kami berangkat dengan syarat bahwa teman saya
Antina tersebut tidak boleh pipis. Karena kami khawatir air pipis doi tidak
suci, aaah you know what i mean.
Kami mulai mendaki tepat pukul 22.30 WIB bersama salah satu
rombongan yang kami temui di pintu masuk. Rombongan tersebut membawa satu
mbak-mbak yang umurnya satu tahun dibawah kami. Perjalanan malam itu berjalan
lancar, dijalan kami saling berkenalan, bercerita penggalaman mendaki, sampai
membahas masalah sekolah kami masing-masing. Pos demi pos kami lewati dengan lancar
sampai pada akhirnya saya merasa tenaga saya tinggal setengah. Yang awalnya
saya jalan cepat, kini saya jalan begitu lambat. Karena memang ini adalah
pengalaman pendakian pertama saya, saya masih belum pintar untuk memanajemen nafas
dan tenaga saya. Beberapa kali saya harus berhenti untuk beristirahat dan
beberapa kali pula saya bertanya kepada teman saya, berapa lama lagi kami bisa
sampai ke puncak.
Muka kucel, rambut keluar mulu, debu dimana-mana, dan saya capek sekali :( |
Sesampainya kami di post ketiga, kami beristirahat dan
bermalam. Mbak-mbak yang saya ceritakan tadi dari post dua sudah tidak kuat dan
kedinginan sehingga salah satu mas dari rombongan tadi harus memapah bahkan
menggendongnya. Sebelum saya melakukan pendakian itu ada salah satu teman saya
bilang bahwa naik gunung adalah waktu dimana kita bisa merefleksi dan menginstropeksi
diri kita. Kita juga tau bagaimana sifat sejati dari teman-teman kita yang
mendaki. Karena ketika kita naik gunung disanalah keegoisan dari orang akan
terlihat jelas jadi, kalau kamu pengen tahu sifat asli dari temanmu, ajaklah
naik gunung.
Sekitar pukul 04.30 WIB kami melanjutkan perjalanan ke
puncak. Yang awalnya kami menginginkan untuk melihat sunrise, karena banyak
sekali halangan kamipun mengubah tujuan. Bahwa tujuan sebenarnya naik gunung
adalah pulang bukan puncak, dari hal tersebut kami menyadari bahwa dengan
segala keterbatasan yang penting kami bisa pulang. Jadi, mulai jalan itu kami
benar-benar santai tidak mengejar salah satu seperti puncak ataupun sunrise.
Ah, saya lupa namanya ini :( |
Sok-sokan bahagia sih |
Dengan berbagai macam halangan seperti jalan yang semakin
mendaki, berbatu, dan nafas saya yang kembang kempis tersebut akhirnya sampai
juga kami di warung mbok nem. Lucunya di Lawu ini banyak sekali warung-warung
yang buka di puncak. Soal harga gak usah ditanya, masih mahal buat kalian makan
di KFC atau McD kok. Sampai sekarang saya masih bingung, gimana caranya
orang-orang ini bawa makanannya ke atas sini? Saya saja hampir memerlukan waktu
enam jam lebih untuk bisa sampai ditempat tersebut. Selain itu, di lawu juga
menyediakan MCK gaees. Sempat saya waktu itu kebelet banget pup dan bener-bener
udah diujung dan akhirnya mau gak mau saya harus pup. Jangan dibayangin MCKnya
kaya di rumah atau paling gak di toilet terminallah, ini jauh dari itu semua.
Hanya ditutupi terpal dan lubangnya itu yang langsung “mak plung” gitu, hahaha.
Jijik sih bicara soal ini, tapi lucu aja bisa-bisanya saya kebelet pup disaat
situasi seperti itu dan bisa-bisanya keluar, hahaha
Kami tidak melanjutkan untuk berkunjung ke puncak, meskipun
jarak puncak dengan warung mbok nem hanya 45 menit. Tapi melihat kondisi kami
dan mbak-mbak itu yang sudah sangat tepar tepat pukul 13.00 kami memutuskan
untuk kembali pulang. Diperjalanan pulang ini saya sedikit mengeluh sampai salah
satu temannya menasehati saya kalau namanya naik gunung itu ya jauh, capek, dan
gak ada yang bisa nolong kalau gak kita sendiri yang berusaha. Huuuu, saya jadi malu sendiri dengan
teman-teman saya tersebut terlebih lagi saya malu dengan diri saya sendiri. Di
perjalanan pulang ini saya juga ditinggal dua teman cewek saya karena saya
jalannya pelan-pelan, takut kepleset, hahaha.
Beberapa kali papasan dengan orang yang mau mendaki dikiranya saya jalan
sendirian, padahal dibelakang saya ada tiga orang teman cowok saya yang
membackup saya dari belakang. Yang saya suka dari naik gunung ini adalah ketika
kita berpapasan dengan orang pasti kita saling menyapa. Orang-orang yang suka
naik gunung ini ramah-ramah, saya suka. Hehe
Trek naik turun, muter, aaaaah |
Pengalaman naik gunung pertama ini benar-benar merepotkan
teman-teman saya. Selain jalan saya yang lemot, saya juga membuat teman saya
nyeker karena sepatunya saya pakai. Sandal gunung yang saya pakai membuat kaki
saya lecet-lecet dan menambah pelan kecepatan jalan saya. Dari situlah akhirnya
teman saya meminjamkan sepatunya. Tepat pukul 18.00 WIB saya sampai di pintu
masuk, Alhamdulillah kami sampai
semua dengan selamat meskipun lecet-lecet dan besok kami berenam harus datang
ke acara reuni SMA, kucel-kucel deh ini muka ke reunian, haha
Pengalaman pertama saya naik gunung ini benar-benar tidak
akan saya lupakan. Di pengalaman saya ini saya banyak belajar arti kesabaran
dan saling memahami. Saya juga diajarkan untuk tidak mengeluh dan
tolong-menolong dengan orang lain. Terimakasih teman-teman SMA terbaikkuuuuuh,
maaf yeee aku ngrepotin kalian. Terimakasih sudah sabar dan menjagaku. Kalian
benar-benar memberikanku pengalaman yang tidak ternilai harganya. Sekali lagi
terimakasih geng. Pengalam ini bikin aku kuat kok, iya aku kuat rek :p
Sampai jumpa
Semoga bahagia
7 komentar
Waaahhh pengalaman naik gunung yaaa...
BalasHapusAku belum pernah naik gunung, jadi gak bisa share pengalaman juga... :(
Tapi, kayaknya emang bener sih kalau pergi2 bareng2 gitu jadi ngeliatin gimana sifat2 asli kita dan temen2 yg bareng sama kita. Jangankan naik gunung yang medannya terjal dan berliku, pergi ke luar kota aja udah kayak gitu... *pengalaman*
Waw, Lawu ya?
BalasHapusLawu hanya beberapa jengkal dari kampung halaman saya di Madiun.
Tapi, sampai sekarang, saya belum ke sana :D
Berarti nggak sampai ke puncaknya ya, Mbak?
BalasHapusSayang sekali ya. Padahal kan tinggal 45 menit aja lagi.
Ya, tapi emang nggak bisa di paksakan juga sih.
Walaupun banyak ngeluh, mbak udah keren kok. Malah lebih keren daripada saya. karena saya sama sekali belum pernah yang namanya mendaki gunung. Cemen banget, kan? Hahahah.
:) Syukur ya... Tenang aja, temennya juga tentu dengan senang hati menolong kamu. Paling tidak pas pulang kamu punya oleh2 penglaman. ;)
BalasHapusKalau katanya naya di jalan jalan men sih emang eek di gunung itu kenikmatan tersendiri hahaha.
BalasHapusBtw itu bener tulisannya " mie rebut"?
emang susah banget ngajakin temen-temen gue terutama cewek untuk pergi keluar, bahkan naik ke gunung sangat susah banget. tapi bagaimana dapet ijin tuh sampai bisa di gunung lawu.
BalasHapusemang sih kalo tau sifat asli temen loe itu harus kamu ajakin naik gunung. dari sana bakal ketahuan siapa temen loe sebenarnya. gunung lawu penuh mistis emangnya, banyak yang mikir2 dulu kalo kesana. tapi sukses buat naik pertamanya, ke gunung lawu lagi.
kebetulan banget mba rencana saya ingin ke lawu cerita mba bisa menjadi panduan saya.. saya baru tau kalo kesana ada pantangan pakai baju ijo, kok seram ya.
BalasHapusoh iya kak bisa minta folbacknya
Seperti didengarkan jika kamu memberi komentar :)